KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENCAPAIAN SWASEMBADA BERAS PADA PROGRAM PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL
I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Ketahanan pangan merupakan salah satu faktor penentu dakam stabilitas nasional suatu negara, baik di bidang ekonomi, keamanan, politil dan sosial. Oleh sebab itu, ketahanan pangan merupakan program utama dalam pembangunan pertanian saat ini dan masa mendatang.
Ketahanan pangan sendiri menurut literatur memiliki 5 unsur yang harus dipenuhi diantaranya :
Pada tahun 2011, data BPS menunjukan bahwa tingkat komsumsi beras mencapai 139kg/kapita lebih tinggi dibanding dengan Malaysia dan Thailand yang hanya berkisar 65kg/kapita pertahun. Beras sebagai makanan pokok utama masyarakat Indonesia sejak tahun 1950 semakin tidak tergantikan meski roda energi diversifikasi komsumsi sudah lama digulirkan, hal ini terlihat bahwa pada tahun 1950 komsumsi beras nasional sebagai sumber karbihidrat baru sekitar 53% bandingkan dengan tahun 2011 yang telah mencapai sekitar 95%. Dalam rencana strategis Kementrian Pertanian menempatkan beras sebagai satu dari lima komoditas pangan utama. Kmentrian Pertanian menargetkan pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan atas tanaman pangan pada tahun 2010-2014 yakni padi,jagung,kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu, ubi jalar karena padi sudah pada posisi swasembada mulai 2007, maka target pencapaian selama 2010-1013 adalah swasembada berkelanjutan dengan sasaran produksii padi sebesar 75,7 juta ton Gabah Kering Giling.
Terkait dengan swasembada beras capaian produksi komoditas pertanian selama tahun 2005-2009 telah menunjukan prestasi sangat baik,
antara lain: peningkatan
I. PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Ketahanan pangan merupakan salah satu faktor penentu dakam stabilitas nasional suatu negara, baik di bidang ekonomi, keamanan, politil dan sosial. Oleh sebab itu, ketahanan pangan merupakan program utama dalam pembangunan pertanian saat ini dan masa mendatang.
Ketahanan pangan sendiri menurut literatur memiliki 5 unsur yang harus dipenuhi diantaranya :
- . Berorientasi pada rumah tangga dan individu,
- Dimensi waktu setiap saat pangan tersedia dan dapat diakses,
- Menekankan pada akses pangan tumah tangga dan individu, baik fisik, ekonomi dan sosial,
- Berorientasi pada pemenuhan gizi,
- Ditujukan untuk sehat dan produktif.
Pada tahun 2011, data BPS menunjukan bahwa tingkat komsumsi beras mencapai 139kg/kapita lebih tinggi dibanding dengan Malaysia dan Thailand yang hanya berkisar 65kg/kapita pertahun. Beras sebagai makanan pokok utama masyarakat Indonesia sejak tahun 1950 semakin tidak tergantikan meski roda energi diversifikasi komsumsi sudah lama digulirkan, hal ini terlihat bahwa pada tahun 1950 komsumsi beras nasional sebagai sumber karbihidrat baru sekitar 53% bandingkan dengan tahun 2011 yang telah mencapai sekitar 95%. Dalam rencana strategis Kementrian Pertanian menempatkan beras sebagai satu dari lima komoditas pangan utama. Kmentrian Pertanian menargetkan pencapaian swasembada dan swasembada berkelanjutan atas tanaman pangan pada tahun 2010-2014 yakni padi,jagung,kedelai, kacang tanah, kacang hijau, ubi kayu, ubi jalar karena padi sudah pada posisi swasembada mulai 2007, maka target pencapaian selama 2010-1013 adalah swasembada berkelanjutan dengan sasaran produksii padi sebesar 75,7 juta ton Gabah Kering Giling.
Terkait dengan swasembada beras capaian produksi komoditas pertanian selama tahun 2005-2009 telah menunjukan prestasi sangat baik,
antara lain: peningkatan
produksi padi dari 57,16 ju
ta ton tahun 2007 menjadi 60,33 juta ton pada tahun 2008,
atau meningkat 3,69 %, sehingga terjadi
surplus 3,17 juta ton GKG, dan mendorong
beberapa perusahaan untuk mengekspor bera
s kelas premium. Target produksi padi
2009 sebesar 63,5 juta ton, sementara berdas
arkan ARAM III (Juni 2009) produksi padi
telah mencapai 63,8 juta ton atau me
ncapai 100,5 % dari target tahun 2009.
Peningkatan produksi ini telah menempat
kan Indonesia meraih kembali status
swasembada beras sejak tahun 2007.
Pada tahun 2011,
APBN untuk Kementerian Pertanian ditetapkan sebanyak
Rp17,6 triliun naik cukup signifikan dibanding pada tahun
2009 sebesar
Rp8,2 triliun.Jumlah itu, menurut Menteri Pertanian Suswono, belum berdampak pada peningkatan
produktivitas. Hal tersebut
dikarenakan periode 2010-2014 ini sektor pertanian bergerak
stagnan. Pertumbuhan produksi pangan poko
k masyarakat Indonesia ini tak lebih dari
3%. Produksi tanaman pangan padi lebih re
ndah dari target yang ditetapkan yakni
hanya mencapai 65,39 juta ton GKG di banding yang
ditargetkan yakni sebanyak 70,06
juta ton GKG.
Kinerja Kementrian Pertan
ian terkait dengan pelaksanaan program Ketahanan
Pangan dipertanyakan selama tahun 2011, dima
na pada semester 1. Prof Dr Bustanul
Arifin, Guru Besar Ilmu Ekonomi Pertanian
UNILA, Ekonom INDEF-Jakarta mengatakan,
dengan metode estimasi yang digunakan Pemerintah dan Badan
Pusat Statistik (BPS),
Indonesia memiliki “sur
plus beras” sekitar 6 juta ton.
Produksi padi sampai 1 Juli 2011
diramalkan mencapai 68 juta ton gabah kering
giling (GKG) (atau setara 39,2 juta ton
beras dengan laju konversi 0,57. Konsum
si beras 139,15 kg per kapita, maka total
konsumsi beras 237,6 juta penduduk Indonesia seharusnya 33
juta ton, sehingga
”selisih” produksi dengan konsumsi mencapai 6 juta ton.
Meski secara hitungan
matematis dan ramalan Indonesia mengalami
surplus beras namun
disisi lain Badan Pusat Statistik mencatat sejak januari
hingga Agustus 2011 Bulog sebagai badan
stabilisator telah melakukan impor beras dengan jumlah impor
beras yang masuk ke
Indoensia mencapai 1,62 juta ton dengan
nilai US$ 861,23 juta. Impor tertinggi pada
periode Januari hingga Agus
tus 2011 berasal dari vietnam yang mencapai 905.930 ton
atau 55,83%.
Kebijakan ini menuai kritik dari beberapa kalangan termasuk
sejumlah
ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) yang menyebutkan
bahwa kebijakan ini anomali, karena pemerintah dalam hal ini
BULOG melakukan impor
beras disaat terjadi panen raya (surplus beras).Ketua Komisi IV DPR Rohmahurmuziy
mengatakan terjadi ketidaksingkronan data produski dan konsumsi yang dimiliki masing-
masing stakeholders pengambil keputusan dengan kebijakan perberasan nasional. Atas
ketidaksingkronan kebijakan ini Ketua Komisi IV DPR Rohmahurmuziy, meminta untuk dilakukan audit.Badan Pemeriksa Keuangan merupakan badan pemeriksaan eksternal Pemerintah
berdasarkan Peraturan BPK No. 1 tahun 1997 memiliki
kewenangan melakukan pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara dimana jenis pemeriksaan yang dilakukan salahsatunya adalah Pemeriksaan Kinerja. Pemeriksaan kinerja dilakukan untuk mengetahui pelaksanaan program yang dibiayai dengan keuangan negara, tingkat kepatuhannya terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta untuk mengetahui tingkat kehematan, efisiensi, dan efektivitas dari program tersebut.
II. PENGERTIAN
Pengertian Ketahanan Pangan
Undang-undang No.7 Tahun 1996
tentang Pangan, mengartikan ketahanan pangan sebagai : kondisi terpenuhinya
pangan bagi setiap rumah tangga, yang tercermin dari tersedianya pangan yang
cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. Pengertian
mengenai ketahanan pangan tersebut mencakup aspek makro, yaitu tersedianya
pangan yang cukup; dan sekaligus aspek mikro, yaitu terpenuhinya kebutuhan
pangan setiap rumah tangga untuk menjalani hidup yang sehat dan aktif.
Pada tingkat nasional, ketahanan
pangan diartikan sebagai kemampuan suatu bangsa untuk menjamin seluruh
penduduknya memperoleh pangan yang cukup, mutu yang layak, aman; dan didasarkan
pada optimalisasi pemanfaatan dan berbasis pada keragaman sumber daya lokal.
Ketahanan pangan merupakan suatu
sistem yang terdiri dari subsistem ketersediaan, distribusi, dan konsumsi.
Subsistem ketersediaan pangan berfungsi menjamin pasokan pangan untuk memenuhi
kebutuhan seluruh penduduk, baik dari segi kuantitas, kualitas, keragaman dan
keamanannya. Subsistem distribusi berfungsi mewujudkan sistem distribusi yang
efektif dan efisien untuk menjamin agar seluruh rumah tangga dapat memperoleh
pangan dalam jumlah dan kualitas yang cukup sepanjang waktu dengan harga yang
terjangkau. Sedangkan subsistem konsumsi berfungsi mengarahkan agar pola
pemanfaatan pangan secara nasional memenuhi kaidah mutu, keragaman, kandungan
gizi, kemananan dan kehalalannya. Situasi ketahanan pangan di negara kita masih
lemah. Hal ini ditunjukkan antara lain oleh: (a) jumlah penduduk rawan pangan
(tingkat konsumsi < 90% dari rekomendasi 2.000 kkal/kap/hari) dan sangat
rawan pangan (tingkat konsumsi <70 % dari rekomendasi) masih cukup besar,
yaitu masing-masing 36,85 juta dan 15,48 juta jiwa untuk tahun 2002; (b)
anak-anak balita kurang gizi masih cukup besar, yaitu 5,02 juta dan 5,12 juta
jiwa untuk tahun 2002 dan 2003 (Ali Khomsan, 2003)
Berdasarkan definisi ketahanan
pangan dari FAO (1996) dan UU RI No. 7 tahun 1996, yang mengadopsi definisi
dari FAO, ada 4 komponen yang harus dipenuhi untuk mencapai kondisi ketahanan
pangan yaitu:
kecukupan ketersediaan pangan;
stabilitas ketersediaan pangan tanpa
fluktuasi dari musim ke musim atau dari tahun ke tahun.
aksesibilitas/keterjangkauan
terhadap pangan serta
kualitas/keamanan pangan
Menurut Bustanul Arifin (2005)
ketahanan pangan merupakan tantangan yang mendapatkan prioritas untuk mencapai
kesejahteraan bangsa pada abad milenium ini. Apabila melihat Penjelasan PP
68/2002 tersebut, upaya mewujudkan ketahanan pangan nasional harus bertumpu
pada sumber daya pangan lokal yang mengandung keragaman antar daerah.
Sejak tahun 1798 ketika Thomas
Malthus memberi peringatan bahwa jumlah manusia meningkat secara eksponensial,
sedangkan usaha pertambahan persediaan pangan hanya dapat meningkat secara
aritmatika. Dalam perjalanan sejarah dapat dicatat berbagai peristiwa kelaparan
lokal yang kadang-kadang meluas menjadi kelaparan nasional yang sangat parah
diberbagai Negara. Permasalahan diatas adalah cirri sebuah Negara yang belum
mandiri dalam hal ketahanan pangan (Nasoetion, 2008)
Ketahanan pangan merupakan pilar
bagi pembangunan sektor-sektor lainnya. Hal ini dipandang strategis karena
tidak ada negara yang mampu membangun perekonomian tanpa menyelesaikan terlebih
dahulu masalah pangannya. Di Indonesia, sektor pangan merupakan sektor penentu
tingkat kesejahteraan karena sebagian besar penduduk yang bekerja on-farm untuk
yang berada di daerah pedesaan dan untuk di daerah perkotaan, masih banyak juga
penduduk yang menghabiskan pendapatannya untuk konsumsi. Memperhatikan hal
tersebut, kemandirian pangan merupakan syarat mutlak bagi ketahanan nasional.
Salah satu langkah strategis untuk untuk memelihara ketahanan nasional adalah
melalui upaya mewujudkan kemandirian pangan. Secara konsepsional, kemandirian
adalah suatu kondisi tidak terdapat ketergantungan pada siapapun dan tidak ada
satu pihakpun yang dapat mendikte atau memerintah dalam hal yang berkaitan
dengan pangan.
Pemberdayaan Petani dalam Rangka
Pemantapan Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan tidak hanya
mencakup pengertian ketersediaan pangan yang cukup, tetapi juga kemampuan untuk
mengakses (termasuk membeli) pangan dan tidak terjadinya ketergantungan pangan
pada pihak manapun. Dalam hal inilah, petani memiliki kedudukan strategis dalam
ketahanan pangan : petani adalah produsen pangan dan petani adalah juga
sekaligus kelompok konsumen terbesar yang sebagian masih miskin dan membutuhkan
daya beli yang cukup untuk membeli pangan. Petani harus memiliki kemampuan
untuk memproduksi pangan sekaligus juga harus memiliki pendapatan yang cukup
untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka sendiri. Disinilah perlu sekali peranan
pemerintah dalam melakukan pemberdayaan petani.
Kesejahteraan petani pangan yang
relatif rendah dan menurun saat ini akan sangat menentukan prospek ketahanan
pangan nasional. Kesejahteraan tersebut ditentukan oleh berbagai faktor dan
keterbatasan, diantaranya yang utama adalah :
a.
Sebagian petani miskin karena memang tidak memiliki faktor produktif
apapun kecuali tenaga kerjanya (they are poor becouse they are poor) , dalam
hal ini keterbatasan sumber daya manusia yang ada (rendahnya kualitas
pendidikan yang dimiliki petani pada umumnya) menjadi masalah yang cukup rumit,
disisi lain kemiskinan yang structural menjadikan akses petani terhadap
pendidikan sangat minim.
b. Luas lahan petani sempit dan
mendapat tekanan untuk terus terkonversi. Pada umumnya petani di Indonesia
rata-rata hanya memiliki tanah kurang dari 1/3 hektar, jika dilihat dari sisi
produksi tentu saja dengan luas tanah semacam ini tidak dapat di gunakan untuk
memenuhi kehidupan sehari-hari bagi petani.
c.Terbatasnya akses terhadap
dukungan layanan pembiayaan , ketersediaan modal perlu mendapatkan perhatian
lebih oleh pemerintah pada umumnya permasalahan yang paling mendasar yang
dialami oleh petani adalah keterbatasan modal baik balam penyediaan pupuk atau
benih.
d. Tidak adanya atau terbatasnya
akses terhadap informasi dan teknologi yang lebih baik. Petani di Indonesia
kebanyakan masih mengolah tanah dengan cara tradisional hanya sebagian kecil
saja yang sudah menggunakan teknologi canggih. Tentu saja dari hasil
produksinya sangat terbatas dan tidak bisa maksimal.
e. Infrastruktur produksi (air,
listrik, jalan, telekomunikasi) yang tidak memadai. Pertanian di Indonesia
mayoritas masih berada di wilayah pedesaan sehingga akses untuk mendapatkan
sarana dan prasarana penunjang seperti air, listrik , kondisi jalan yang bagus
dan telekomunikasi sangat terbatas.
f. Struktur pasar yang tidak adil
dan eksploitatif akibat posisi tawar petani (bargaining position) yang sangat
lemah .
g. Ketidakmampuan, kelemahan, atau ketidaktahuan petani sendiri.
Tanpa penyelesaian yang mendasar dan
komprehensif dalam berbagai aspek diatas kesejahteraan petani akan terancam dan
ketahanan pangan akan sangat sulit dicapai. Maka disinilah peranan pemberdayaan
masyarakat oleh pemerintah harus dijadikan sebagai perhatian utama demi
terwujudnya ketahanan pangan karena ketahanan pangan dapat terwujud dengan baik
jika pengelolaanya dikelola mulai dari tataran mikro (mulai dari rumah tangga),
jika akses masyarakat dalam mendapatkan kebutuhan pangan sudah baik maka
ketahanan pangan di tataran makro sudah pasti secara otomatis akan dapat
terwujud.
Dapat kita lihat sampai sekarang ini
program pemerintah dalam kaitanya dengan pembangunan ketahanan pangan masih
belum bisa memenuhi kebutuhan masyarakat pada umumnya, pembangunan ketahanan
pangan yang ada masih bersifat pada tataran makro saja pemenuhan pangan pada
tingkatan unit masyarakat terkecil masih terkesan terabaikan. Untuk mengatasi hal
itu semua ada berbagai upaya pemberdayaan untuk peningkatan kemandirian
masyarakat khususnya pemberdayaan petani dapat dilakukan melalui :
Pertama, pemberdayaan dalam
pengembangan untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing. Hal ini dapat
dilaksanakan melalui kerjasama dengan penyuluh dan peneliti. Teknologi yang
dikembangkan harus berdasarkan spesifik lokasi yang mempunyai keunggulan dalam
kesesuaian dengan ekosistem setempat dan memanfaatkan input yang tersedia di
lokasi serta memperhatikan keseimbangan lingkungan.
Pemberdayaan masyarakat melalui
pengembangan teknologi ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan hasil kegiatan
penelitian yang telah dilakukan para peneliti.
Teknologi tersebut tentu yang benar-benar bisa dikerjakan petani di
lapangan, sedangkan penguasaan teknologinya dapat dilakukan melalui penyuluhan
dan penelitian. Dengan cara tersebut diharapkan akan berkontribusi langsung
terhadap peningkatan usahatani dan kesejahteraan petani.
Kedua, penyediaan fasilitas kepada
masyarakat hendaknya tidak terbatas pengadaan sarana produksi, tetapi dengan
sarana pengembangan agribisnis lain yang diperlukan seperti informasi pasar,
peningkatan akses terhadap pasar, permodalan serta pengembangan kerjasama
kemitraan dengan lembaga usaha lain.
Dengan tersedianya berbagai
fasilitas yang dibutuhkan petani tersebut diharapkan selain para petani dapat
berusaha tani dengan baik juga ada kepastian pemasaran hasil dengan harga yang
menguntungkan, sehingga selain ada peningkatan kesejahteraan petani juga timbul
kegairahan dalam mengembangkan usahatani.
Ketiga, Revitalisasi kelembagaan dan
sistem ketahanan pangan masyarakat. Hal ini bisa dilakukan melalui pengembangan
lumbung pangan. Pemanfaatan potensi bahan pangan lokal dan peningkatan spesifik
berdasarkan budaya lokal sesuai dengan perkembangan selera masyarakat yang
dinamis.
Revitalisasi kelembagaan dan sistem
ketahanan pangan masyarakat yang sangat urgen dilakukan sekarang adalah
pengembnagan lumbung pangan, agar mampu memberikan kontribusi yang lebih
signifikan terhadap upaya mewujudkan ketahanan pangan. Untuk itu diperlukan
upaya pembenahan lumbung pangan yangb tidak hanya dakam arti fisik lumbung,
tetapi juga pengelolaannya agar mampu menjadi lembaga penggerak perekonomian di
pedesaan.
Pemberdayaan petani untuk mencapai
ketahanan pangan dan meningkatkan kesejahteraan petani seperti diuraikan
diatas, hanya dapat dilakukan dengan mensinergikan semua unsur terkait dengan
pembangunan pertanian. Untuk koordinasi antara instansi pemerintah dan
masyarakat intensinya perlu ditingkatkan.
Comments
Post a Comment